Di Kalimantan Timur, terdapat dua kerajaan besar, yang pertama adalah kerajaan Kutai Mulawarman dan yang kedua Kutai Kartanegara.
Kutai mulawarman merupakan kerajaan tertua di Indonesia, karena keberadaanya diperkirakan ada pada tahun 400 masehi. Sedangkan kerajaan Kutai kartanegara sejarahnya ditulis dalam kitab Salsilah Kutai.
Adapun penjelasan mendalam mengenai kedua kerajaan tersebut, akan dipaparkan pada penjelasan dibawah ini.
1. Kerajaan Kutai Mulawarman
Kerajaan Kutai Mulawarman atau ada yang menyebut kutai Martadipura merupakan salah satu kerajaan yang tertua di Indonesia, yang awal keberadaanya diperkirakan pada sekitar tahun 400 Masehi.
Letak kerajaan Kutai berada di Muara Kaman, Kalimantan Timur, lebih tepatnya yakni di hulu sungai Mahakam. Istilah nama Kutai ditemukan oleh ahli dari tempat ditemukannya prasasti Yupa yang menunjukkan keberadaan kerajaan tersebut.
Yupa yang telah diidentifikasi bertuliskan bahasa sansekerta. Tulisan serta bentuk dari hurufnya dinamakan huruf pallawa, yaitu sebuah tulisan yang digunakan pada tanah Hindu Selatan sekitar ditahun 400 masehi.
Artinya, dengan melihat adanya bentuk huruf dari prasasti yang ditemukan, maka para ahli menyatakan bahwa Yupa tersebut telah dibuat sekitar abad ke 5.
Dalam tulisan yang tertera pada yupa, terdapat nama raja Kundungga. Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.
Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Kemudian, pada zaman Mulawarman kerajaan kutai mencapai masa kejayaannya.
kejayaan kerajaan ini dapat dilihat dari terdapatnya golongan terdidik, seperti ksatrian dan brahmana. Kemungkinan, kedua golongan tersebut telah bepergian ke pusat penyebaran agama Hindu yang ada di Asia Tenggara.
Selain itu, golongan tersebut mendapat kedudukan yang terhormat dalam kerajaan kutai. Kerajaan ini berakhir disaat Raja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, yang bernama Aji Pangeran Anum Panji Mendapa di dalam sebuah pertempuran.
Perlu diketahui bahwa, Kerajaan Kutai Mulawarman atau Martadipura berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara. Kutai kartanegara ibukotanya pertama kali berada di Tanjung Kute.
Kutai Kartanegara inilah, yang kemudian di tahun 1365, yang disebutkan dalam serat sastra Jawa Negarakertagama. Dikemudian hari, Kutai Kartanegara menjadi kerajaan Islam yang biasa disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
1.1. Silsilah Raja-Raja Kutai Mulawarman
Kerajan Kutai Mulawarman atau Martadipura, dahulu didirikan oleh pembesar kerajaan Campa yang bernama Raja Kudungga. Setelah itu dilanjutkan oleh Asmawarman, Mulawarman, dan Marawijaya hingga sampai total dua puluh satu generasi.
Adapun silsilah Raja Kutai Mulawarman yaitu sebagai berikut:
- Raja Kudungga, yang memilliki gelar Anumerta Dewawarman sekaligus pendiri kerajaan kutai.
- Raja Aswarman, yang merupakan anak dari Raja Kudungga.
- Raja Mulawarman, yang paling terkenal karena kejayannya.
- Raja Marawijaya Warman.
- Raja Gajayana Warman.
- Raja Tungga Warman.
- Raja Tungga Warman.
- Raja Jayanaga Warman.
- Raja Nalasinga Warman.
- Raja Gadingga Warman Dewa.
- Raja Indra Warman Dewa.
- Raja Sangga Warman Dewa.
- Raja Candrawarman.
- Raja Sri Langka Dewa.
- Raja Guna Parana Dewa.
- Raja Wijaya Warman.
- Raja Sri Aji Dewa.
- Raja Mulia Putera.
- Raja Nala Pandita.
- Raja Indra Paruta Dewa.
- Yang terahir adalah Raja Dharma Setia.
2. Kerajaan Kutai Kartanegara
Saat ini, lokasi bekas kerajaan Kutai Kartanegara yang dulu berada di Kutai Lama hanyalah tinggal akar belukar dan kebun penduduk biasa yang berada dipinggir sungai Mahakam.
Di lokasi tersebut hanya terdapat makam kuno, yang sekaligus sebagi saksi sejarah bahwa dulu pernah berdiri sebuah kerajaan. Disinilah diceritakannya Raja Kutai Kartanegara berta kebesarannya yang turun temurun.
Namun, saat ini sudah tidak bisa lagi ditemukan lagi tanda-tanda kebesaran Kerajaan Kutai Kartanegara yang dulu berpenduduk ribuan jiwa.
Selain itu, sudah tidak bisa didapatkan istana megah yang dulu diramaikan oleh saudagar yang menawarkan barang dagangannya. Dewasa ini, lokasi tersebut hanya dihuni oleh masyarakat setempat, dengan jumlah penduduk hanya sekitar 500 jiwa.
Kerajaan Kutai Kartanegara, sejarahnya juga disebutkan dalam kesusasteraan jawa kuno yang bernama kitab Negarakertagama, dari Kerajaan Majapahit yang disusun oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 masehi.
Di dalam kitab Nagarakartagama pasal 13 dan 14 tercantum beberapa wilayah yang berhasil dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah Kerajaan Kutai yang dalam Nagarakartagama ditulis “Tunjung Kute”.
Sedangkan didalam sumber lain, disebutkan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara terdapat pada Hikayat Raja Pasir dan kitab Pararaton.
Sumber lain yang menjelaskan tentang Kerajaan kutai Kartanegara juga terdapat pada Salasilah Kutai. Yakni, kitab yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu yang mengisahkan tentang Raja Kutai Kartanegara.
Sekalipun dalam kitab dijelaskan bahwa Kutai Kartanegara membangun kembali kerajaan kebanggannya, namun jika disimak secara mendalam, cerita yang disajikan seperti dongeng tapi mengandung fakta historis yang nyata.
2.1 Berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara
Dalam kitab salasilah Kutai diceritakan bahwa ada seorang kepala Desa Jahitan Layar, yang sudah lama berumah tangga tapi tidak memiliki keturunan.
Kemuadian, secara ajaib kepala desa tersebut mendapat anak yang diturunkan dari langit dalam sebuah bola emas. Oleh bapaknya, anak itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Di waktu yang bersamaan, Kepala Desa Hulu juga mendapatkan anak perempuan dengan cara yang tidak kalah menakjubkan. Anak tersebut ditemukan di atas buih sungai Mahakam, dekat Melanti.
Kemudian, anak tersebut diberi nama Putri Karang Melenu ada juga yang menyebut Putri Junjung Buih. Ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti sudah tumbuh dewasa, kemudian ia mendirikan kerajaan di hilir sungai Mahakam yang bernama “Kutai Kartanegara”.
Hingga kemudian, ia menikah dengan Putri Karang Melenu. Kedua pasangan tersebut dikaruniai seoarang keturunan laki-laki bernama Aji Paduka Nira.
Seusai kelahiran anak pertamanya, Aji Batara Agung Dewa Sakti melakukan kunjungan ke Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa. Dirumah, sang Permaisuri Putri Karang Melenu tidak tahan hidup sendirian.
Lalu sang putri memutuskan untuk bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke sungai Mahakam, yakni tempat dimana ia dilahirkan.
Kemudian, setelah Aji Batara Agung Dewa Sakti pulang dari Majapahit, ia merasa sedih karena mengetahui isterinya telah meninggal dunia.
Karena putus asa, lalu ia memutuskan untuk ikut menceburkan diri ke sungai Mahakam sama seperti yang dilakukan istrinya. Sepeninggal kedua orang tuanya, ahirnya Aji Batara Agung Nira menjadi anak yatim piatu.
Selanjutnya di desa Muara Bengalon, ada seorang penduduk dengan cara ajaib memperoleh anak perempuan dari sela-sela rumpun bambu. Anak itu diberi nama Putri Paduka Suri.
Kemudian, setelah dewasa ia diperistri oleh Aji Paduka Nira, yang pada saat itu menjadi Raja kedua dari kerajaan Kutai Kartanegara. Dari perkawinan ini, lahirlah tujuh orang anak, lima laki-laki dan dua perempuan.
2.2 Politik Kerajaan Kutai Kartanegara
Aji Batara Agung Nira menjadi anak yatim piatu ketika meneruskan tahta dari orang tuanya. Setelah dewasa, Aji Batara Agung Nira menikah dengan Putri Paduka Suri.
Berdasar manuskrip Keraton Kutai Kartanegara, menyebutkan bahwa Putri Paduka Suri sebenarnya seorang keturunan Raja Kutai Martadipura, yang bernama Indra Perwati Dewi.
Setelah sang putri menikah dengan Aji Batara Agung Nira, kemudian mendapat gelar menjadi Putri Paduka Suri. Kerajaan Kutai Kartanegara berusaha memperkuat Kerajaan dengan melakukan pernikahan politik, yakni dengan Kerajaan Kutai Martadipura.
Adapun motif dari pernikahan politik tersebut, hingga sekarang masih belum jelas motivasi tujuannya. Selanjutnya, setelah Aji Paduka Nira wafat, tahta kerajaan dilanjutkan oleh anak sulungnya yang bernama Maharaja Sultan (1450-1474M).
Setalah menjadi raja, Maharaja Sultan bersama Raja Indera Mulia dari Kerajaan Kutai Martadipura bersama-sama berangkat ke Majapahit untuk belajar adat istiadat kerajaan.
Karena ada keperluan mendesak, sebelum menyelesaikan belajarnya, Raja Indera Mulia pulang terlebih dahulu ke Muara Kaman. Namun, Maharaja Sultan berhasil menyelesaikan belajarnya di Majapahit.
Kemudian Maharaja Sultan menikah dengan Aji Paduka Sari dan dikaruniai seorang seorang anak yang bernama Mandarsyah. Ketika Mandarsah berusia empat tahun, ayah kandungnya meninggal dunia.
Sehingga, ketika Mandarsah beranjak dewasa, ia langsung meneruskan tahta kerajaan. Namun, Raja Mandarsah semasa hidupnya tidak memiliki seorang keturunan untuk meneruskan pemerintahannya.
Sehingga, pemerintahan dilanjutkan oleh Tumenggung Baya-Baya, yang sekaligus menjadi Raja kelima dari dinasti Kutai Kartanegara. Setelah wafat, kekuasaan diserahkan kepada anak sulungnya, yaitu Raja Mahkota (1575-1610M) yang baru berusia 14 tahun.
2.3 Silsilah Raja-Raja Kutai Kartanegara
Dalam silsilah raja-raja Kutai Kartanegara terdapat perbedaan dalam menentukan tahun kapan awal kerajaan ini didirikan. Meskipun begitu, perbedaan tersebut tidak merubah apapun dalam pemahaman kita untuk mengetahui tentang Kerajaan Kutai Kartanegara.
- Aji Batara Agung Dewa Sakti 1300-1325 M
- Aji Batara Agung Paduka Nira 1325-1360 M
- Maharaja Sultan 1360-1420 M
- Raja Mandarsyah 1420-1475 M
- Pangerang Tumenggung Bayabaya 1475-1545 M
- Raja Makota 1454-1610 M
- Aji Dilanggar 1610-1635 M
- Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura 1635-1650 M
- Pangeran Dipati Agung Ing Martadipura 1650-1665 M
- Pangeran Dipati Maja Kusuma Ing Martadipura 1665-1686 M
- Aji Ragi Gelar Ratu Agung 1686-1700 M
- Pangeran Dipati Tua Ing Martadipura 1700-1710 M
- Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martadipura 1710-1735 M
- Sultan Aji Muhammad Idris 1735-1778 M
- Sultan Aji Muhammad Aliyeddin 1778-1780 M
- Sultan Aji Muhammad Muslihuddin 1780-1816 M
- Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1816-1845 M
- Dewan Perwalian 1845-1850 M
- Sultan Aji Muhammad Sulaiman 1850-1899 M
- Sultan Aji Muhammad Alimuddin 1899-1910 M
- Dewan Perwalian/Pangeran Mangkunegoro 1910-1920 M
- Sultan Aji Muhammad Parikesit 1920-1960 M